Rupiah Tembus 14.071 per Dolar AS, Pelemahannya Tak Terbendung
Liputan6.com, Jakarta - Mengawali pekan ini, nilai tukar rupiah kembali tertekan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Kekhawatiran pelaku pasar terhadap devaluasi Yuan atau pelemahan mata uang China akan diikuti dengan bank sentral negara lainnya memberikan sentimen negatif ke nilai tukar rupiah.
Berdasarkan data RTI pukul 09.10 waktu Jakarta, nilai tukar rupiah berada di kisaran 14.071 per dolar AS. Sementara itu, berdasarkan data Bloomberg, rupiah dibuka melemah 36 poin menjadi Rp 13.977 per dolar AS dari penutupan perdagangan Jumat 21 Agustus di kisaran 13.941 per dolar AS. Pagi ini, rupiah sempat tembus di kisaran 14.031 per dolar Amerika Serikat. Kini rupiah bergerak di kisaran 13.977-14.053 per dolar AS.
Kepala Riset PT Monex Investindo Ariston Tjendra menuturkan rupiah tembus 14.000 per dolar AS karena kekhawatiran pelaku pasar kalau bank sentral negara lain akan mengikuti langkah China untuk melemahkan mata uangnya. Hal itu memicu perang mata uang di pasar keuangan. "Ini dikhawatirkan bank sentral akan ikut melemahkan mata uang," ujar Ariston saat dihubungi Liputan6.com, Senin (24/8/2015).
Ia menambahkan, kekhawatiran itu membuat pelaku pasar menarik diri dari emerging market atau pasar negara berkembang yang termasuk pasar berisiko. Ariston memprediksi, rupiah masih memasuki tren penurunan. "Saat ini belum ada penguatan rupiah dari segi fundamental," kata Ariston.
Karena itu, ia mengharapkan Bank Indonesia dapat bergerak cepat untuk intervensi. Hal itu dilakukan agar dapat menahan pelemahan rupiah. Sedangkan kalau sisi kebijakan fiskal masih membutuhkan waktu untuk memulihkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. (Ndw/Ahm)
RI Bakal Jadi Korban Perang Mata Uang
Liputan6.com, Jakarta - Akibat perlambatan ekonomi dunia, kinerja ekspor perdagangan hampir seluruh negara mengalami pelemahan. Sementara nilai tukar mata uang beberapa negara hanya sedikit terpengaruh fenomena super dolar Amerika Serikat (AS) sehingga memicu kebijakan mendepresiasi mata uang agar barang ekspor lebih murah dan memiliki daya saing.
Pengamat Valas, Farial Anwar mengungkapkan, China lebih dulu mengambil langkah mendevaluasi Yuan untuk merangsang kinerja ekspor. Kebijakan tersebut akhirnya disusul Vietnam yang sengaja mendepresiasi Dong.
"Devaluasi Yuan dan Dong menimbulkan kekhawatiran, apakah kemungkinan terjadi perang mata uang. Semua negara akan berusaha mendepresiasi mata uangnya. Kita tunggu saja, siapa lagi yang akan bereaksi sama dengan China dan Vietnam," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (24/8/2015).
Lebih jauh dia menyebut, negara-negara yang bakal mengekor langkah Vietnam dan China masih sebatas spekulasi. Namun Farial memperkirakan, negara pengekspor, seperti Thailand, Korea dan Jepang akan mendevaluasi mata uangnya.
"Mungkin saja Thailand, Korea dan Jepang ikut mendevaluasi mata uangnya. Tapi mata uang mereka sudah merosot, apakah akan dilemahkan lagi, itu keterlaluan," tegasnya.
Jika hal ini sampai terjadi, termasuk perang mata uang, Farial menjelaskan dampaknya akan semakin besar pada kurs rupiah. Dolar AS, diakuinya bakal lebih menguat.
Lalu apakah Indonesia harus ikut-ikutan melemahkan rupiah yang sudah terjun bebas dan sempat menembus level 14.000 per dolar AS? "Kalau rupiah dimerosotin lagi, maka dunia usaha kita bisa kacau. Sebelum China mendevaluasi Yuan saja, kita sudah babak belur," kata Farial.
Indonesia merugi
Terpisah, Pengamat Ekonomi sekaligus Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati mengatakan, akibat perang mata uang yang dianggapnya merupakan istilah para pedagang mata uang akan semakin menekan kurs rupiah.
"Rupiah semakin tertekan, karena kita tidak bisa seperti China yang bisa menetapkan kurs mata uang mengingat kita menganut sistem devisa bebas," ujarnya.
Sementara pelemahan nilai tukar rupiah yang terlalu dalam, sambung dia, tidak akan menguntungkan Indonesia. Penyebabnya, Enny bilang, ketergantungan impor negara ini adalah bahan baku, bukan komoditas seperti China, Jepang dan Korea.
"Kalau China diuntungkan dengan impor komoditas karena harganya sedang hancur. Sedangkan Indonesia ketergantungan impor bahan baku, yang harganya justru naik sehingga berdampak ke biaya produksi. Akhirnya produk dalam negeri tidak bisa kompetitif di luar negeri," tandas dia. (Fik/Ndw)